well menurut gue, berita ini sesuatu yang inspiratif.
MERDEKA.COM. Menyikapi penyadapan Australia terhadap telepon
selulernya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampaknya harus belajar
banyak dari Bung Karno. Ponsel Bung Karno memang tidak pernah disadap (karena
sampai matinya, alat komunikasi model begitu belum ada) tetapi sang proklamator
menjadi orang yang sampai senjakala kekuasaannya selalu dimatai-matai asing,
khususnya Amerika Serikat (AS).
Bahkan tuduhan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) adalah puncak dari kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto,
semakin jelas dengan adanya dokumen Central Intelligence Agency (CIA), agen
rahasia AS. Telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta kepada Departemen Luar
Negeri AS, sehari pasca-penerbitan Supersemar, menyatakan: "Indonesia baru
saja melancarkan sebuah kudeta militer (military coup)."
Oleh kudeta merangkak, Bung Karno memang akhirnya jatuh dari
kursi kekuasaannya. Namun, soal menghadapi spionase CIA, pemimpin besar
revolusi itu jagonya.
Pernah pada 1958, saat pemberontakan PRRI/Permesta bergolak,
Bung Karno menunjukkan kelihaiannya dalam mengelola konflik dengan AS akibat
tertangkapnya Allen Lawrence Pope, agen CIA yang membantu para perongrong
republik.
Pope tertangkap dalam usahanya mengebom armada gabungan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pesawat pembom B-26
Invader Auref (Angkatan Udara Revolusioner), tujuh mil lepas pantai Tanjung
Alang, tak jauh dari Kota Ambon. Pemboman itu gagal. Pope berhasil ditembak
jatuh, meski akhirnya selamat berkat parasut yang mengembang dan kemudian
ditangkap tentara republik.
Tidak seperti agen CIA lain, dalam aksinya Pope sengaja
membawa sejumlah identitas dalam pesawat. Pelanggaran prosedur CIA oleh Pope
ini akhirnya yang justru memudahkan ABRI membuktikan bahwa ada Amerika di balik
aksi sang mata-mata.
Tahu agennya tertangkap dalam keadaan tidak 'bersih', AS
mulai cuci tangan agar tidak kehilangan muka dari Bung Karno, yang dikenal
tidak berpihak ke Blok Timur maupun Barat. Semua cara dilakukan pemerintahan AS
di bawah Presiden Eisenhower untuk membantah keterlibatan negaranya dalam
spionase itu, meski semua bukti akhirnya berkata lain.
Melihat hal itu, Bung Karno justru memanfaatkan kondisi
Amerika yang lagi gelagapan. Bung Karno bahkan menyebutkan adanya kemungkinan
bantuan dari sukarelawan-sukarelawan penerbang Cina, musuh AS dan mencuatnya
Perang Dunia III.
Gertakan Bung Karno itu terbukti ampuh. Washington akhirnya
bersikap ramah terhadap republik. Dalam waktu lima hari, permintaan Indonesia
agar dapat mengimpor beras dengan pembayaran rupiah, disetujui.
Tidak hanya itu, bola politik pun benar-benar dimainkan oleh
Bung Karno. Penahanan Pope bahkan diulur untuk mendapatkan manfaat
keramahtamahan diplomasi AS.
Hasilnya, embargo senjata terhadap republik dicabut.
Kemudian, AS juga segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang
yang dibutuhkan ABRI termasuk suku cadang pesawat terbang AURI. Seketika itu
juga dukungan AS terhadap pemberontak PRRI/Permesta dihapuskan.
Yang tak kalah menarik dari kisah Pope ini adalah ucapan si
penerbang ketika dia ditangkap: "Biasanya negara saya menang, tapi kali
ini kalian menang."
'Menang' selalu ada di halaman depan kamus Bung Karno. Lalu,
bisakah Presiden SBY menang melawan spionase asing (Australia) yang telah
menyadapnya?
(Dari berbagai sumber)
0 comments:
Post a Comment